Rabu, 20 Februari 2013

produksi kedelai


PRODUKSI KEDELAI INDONESIA
Kedelai sebagai salah satu komoditi pertanian yang berperan sebagai sumber daya penghasil protein terbaik manusia merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan akan nutrisi pada tubuh manusia. Selain itu, bagi masyarakat Indonesia kedelai telah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan penggunaan kedelai tersebut sebagai bahan lauk-pauk dan pelengkap makanan lainnya, seperti pengolahannya menjadi tempe, tahu, dan kecap. Hal tersebut mengakibatkan tingginya permintaan kedelai di pasar dalam negeri terutama untuk memenuhi permintaan rumah tangga. Sementara itu ironisnya, produksi kedelai dari dalam negeri sendiri justru terus mengalami penurunan bahkan mengakibatkan peningkatan terhadap kuantitas kedelai impor di pasar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun industri di dalam negeri.
Semakin menurunnya kuantitas produksi kedelai dalam negeri ini menurut Wakil Menteri Perdagangan diakibatkan oleh adanya penurunan luas lahan daripada areal pertanian sendiri, seperti semakin gencarnya alih fungsi lahan pertanian menjadi area pemukiman dan lainnya. Selain itu, permasalahan ini juga disebabkan oleh kurangnya insentif yang dimiliki petani untuk membeli bibit kedelai, dan rendahnya daya saing kedelai Indonesia dengan komoditi kedelai impor yang notabene justru memiliki harga yang jauh lebih murah dibanding kedelai lokal. Berikut adalah tabel produksi kedelai Indonesia dari tahun 2007-2012 :
Sumber : BPS 2012
Grafik produksi kedelai Indonesia tahun 2007-2012

Pada data yang ditampilkan dalam tabel dan grafik di atas tampak bahwa produksi kedelai di Indonesia dari tahun 2007 sampai 2012 terus mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebanyak 592534 ton kedelai sampai puncaknya yaitu pada tahun 2009 sebanyak 974512 ton, kemudian terus menurun hingga tahun 2012 yaitu sebesar 779741 ton kedelai sebagaimana yang baru saja menjadi fenomena karena mengakibatkan kelangkaan komoditi kedelai yang dapat merugikan produsen pengolahan kedelai seperti produsen tempe dan tahu, sebagaimana diketahui bahwa tempe dan tahu merupakan bahan pangan sehari-hari yang permintaannya sangat tinggi oleh masyarakat Indonesia. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kelangkaan tersebut diakibatkan oleh semakin berkurangnya lahan pertanian untuk kedelai sendiri akibat tingginya intensitas alih guna lahan pertanian menjadi larea pemukiman. Sehingga hal ini memicu terjadinya impor kedelai yang notabene harganya justru lebih murah daripada kedelai lokal.
Studi Kasus:
Produksi Kedelai: Indonesia “Bangsa Tempe”
Sudah tiga hari lamanya menu gorengan tempe dan tahu tak lagi tersaji di warung makan Tegal (warteg) tempat saya biasa santap sahur. Nampaknya, ini merupakan buntut dari meroketnya harga kedelai belakangan ini sehingga memaksa sejumlah perajin tahu-tempe menyetop produksinya. Alhasil, kedua panganan hasil olahan kedelai tersebut pun menjadi langka, bahkan menghilang di sejumlah tempat.
Kabarnya, suplai komoditas kedelai sedang terganggu. Harga komoditas ini di pasar internasional dikabarkan melambung akibat gangguan produksi (anomali iklim) yang terjadi di sejumlah negara utama pemasok kedelai di pasar dunia. Amerika Serikat (AS), misalnya, saat ini sedang dilanda kekeringan. Kondisi ini tentu sangat tidak menguntungkan buat Indonesia yang sebagian besar pemenuhan kebutuhan kedelainya bergantung pada impor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sekitar 71 persen pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri di tahun 2011 berasal dari impor. Tahun lalu, Indonesia harus mengimpor sebanyak 2.087.986 ton kedelai karena produksi kedelai dalam negeri hanya mencapai 851.286 ton. Sebagian besar kedelai impor tersebut berasal dari AS, yakni sebesar 1.847.900 ton. Diketahui, sekitar 83,7 persen kedelai impor diserap untuk pembuatan tahu dan tempe (Kompas.com, 27/07), menjadikan industri yang satu itu ini begitu bergantung pada kedelai impor.
Bencana kekeringan yang tengah melanda AS dan Amerika Selatan (pemasok utama komoditas kedelai dunia) mengakibatkan suplai kedelai di pasar internasional terganggu sehingga harganya melambung. Itulah sebab, harga kedelai impor di dalam negeri saat ini meroket karena harga di pasar internasional juga tinggi. Celakanya, ada indikasi kuat telah terjadi praktek kartel dalam importasi komoditas ini: pemasok kedelai impor (importir) jumlahnya hanya segelintir, dan mereka memiliki ruang yang lebih untuk memainkan harga sekehendak hati. Konsekwensinya jelas, harga kedelai impor bisa naik berlipat-lipat melebihi kewajaran hanya untuk memuaskan hasrat meraup untung berlipat segelintir orang tersebut. Dan, nampaknya itulah yang tengah terjadi saat ini.
Terkait hal ini, kabarnya pemerintah telah memutuskan untuk membuka keran impor sederas-derasnya dalam jangka pendek. Mulai 1 Agustus hingga akhir Desember tahun ini, bea masuk kedelai impor, yang tadinya sebesar 5 persen, akan diturunkan menjadi 0 persen (Kompas.com. 27/07). Langkah pemerintah ini membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pegiat usaha pembuatan tahu-tempe (koperasi dan perajin) untuk melakukan impor kedelai secara langsung sehingga kenaikan harga kedelai saat ini bisa ditekan dan produksi tahu-tempe, yang begitu bergantung pada kedelai impor, tidak terhenti.
Swasembada kedelai
Langkah yang ditempuh pemerintah di atas tentu hanyalah solusi sesaat. Masalah serupa akan terus berulang jika pemenuhan kebutuhan kedelai negeri ini terus bergantung pada kedelai impor. Dan, satu-satunya cara agar negeri ini tidak lagi bergantung pada kedelai impor adalah “swasembada kedelai”.
Sebetulnya, sejak tahun 2010 lalu, pemerintah telah menetapkan sejumlah target ambisius terkait produksi komoditas pangan, termasuk kedelai. Swasembada kedelai ditargetkan akan tercapai pada tahun 2014. Kita tentu tidak menafikan berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menggenjot produksi kedelai nasional selama ini. Tapi melihat perkembangan yang terjadi, kita patut pesimis. Nampaknya, target ambisius tersebut bakal urung tercapai. Pemerintah nampaknya hanya jago membuat target, tapi lemah dalam merealisasikannya. Betapa tidak. Menurut catatan BPS, sejak tahun 2009 hingga kini, produksi kedelai nasional terus menurun (seperti yang ditunjukkan pada grafik dan tabel sebelumnya).
Pemerintah selalu berkilah, terjadi kompetisi antara tanaman kedelai dan jagung di lapangan. Pasalnya, kedua komoditas ini ditanam pada lahan yang sama sehingga terjadi trade off: mana yang lebih menguntungkan itu yang ditanam oleh petani. Dan Saat ini, komoditas jagung lebih menguntungkan dibanding kedelai sehingga petani lebih memilih menanam jagung.
Jika dicermati, perkembangan struktur ongkos usaha tani kedelai memang terus meningkat. Sementara pada saat yang sama, perkembangan harga jual komoditas ini cenderung stagnan. Kombinasi antara tingginya biaya produksi dan harga jual yang tidak kompetitif menjadikan petani tidak begitu tertarik untuk menaman kedelai. Kita tentu patut curiga, jangan-jangan ini merupakan indikasi tidak adanya keseriusan dan lemahnya insentif serta perhatian pemerintah selama ini.
Pertanyaannya kemudian, sampai kapan kondisi ini terus berlanjut? Tentu harus ada upaya-upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Upaya memperluas areal tanam tentu bagus, tapi tentu tidak mudah melakukannya. Peraga di atas dengan terang juga menunjukkan, luas panen kedelai terus menurun. Ini merupakan indikasi kuat bahwa pemerintah telah gagal menambah luas areal tanam kedelai secara berarti selama ini. Terkait produksi kedelai, jangan sampai kita menjadi “bangsa tempe” seperti yang dikatakann Bung Karno karena tidak mampu mewujudkan yang namanya kemandirian dan kedaulatan pangan atas negeri ini.
DATA KONSUMSI KEDELAI DI INDONESIA PADA TINGKAT NASIONAL
DARI TAHUN 1999-2006








Konsumsi kedelai pada tingkat nasional per kapita per tahun mengalami fluktuasi. Pada tahun 1999 konsumsi kedelai berkisar antara 5,7  kg/ kapita/ thn. Dan mengalami peningkatan pada tahun 2002 sebesar 7,1 kg/kapita/thn. Kemudian berbanding terbalik pada tahun 2003 terjadi penurunan 2 persen dari tahun sebelumnya. Selanjutnya konsumsi meningkat, rata-rata 6,3 persen/tahun, sehingga pada tahun 2008 mencapai 8,31 kg/kapita/tahun. Kondisi konsumsi ini kontradiktif dengan produksi. Pada satu sisi produksi demikian rendah, pada sisi lain konsumsi tumbuh meningkat sebesar 4,3 persen/tahun. Indikasi peningkatan ketergantungan impor telah muncul dengan perbedaan fenomena pertumbuhan produksi dan konsumsi kedelai domestik.
Mengingat di Indonesia saat ini pada hasil pertanian kedelai mengalami penurunan baik dari segi produktivitasnya. Akan tetapi permintaan yang terjadi meningkat tajam dan dapat dikatakan bahwa kedelai di Indonesia mengalami krisis. Lebih parahnya, Indonesia lebih banyak impor kedelai dari luar untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Selain itu dari data di atas dapat diketahui atas konsumsi masyarakat terhadap kedelai yang mengalami kenaikan yang drastic dari tahun 2004 sampai 2006. Seharusnya pemerintah dapat menentukan kebijakannya dalam pengurangan impor kedelai dan meningkatkan produktivitas kedelai di dalam negeri. Sehingga dengan begitu permintaan akan kedelai yang ada dalam negeri dapat terpenuhi.
Ada pun grafik yang menunjukkan peningkatan maupun penurunan yang terjadi pada konsumsi kedelai.








Studi Kasus
Konsumsi Kedalai Nasional Capai 2,6 Juta Ton Per Tahun Yang Kekurangannya Harus di Pasok dengan Kedelai Impor










Pasuruan (ANTARA News) - Menteri Perdagangan, Gita wiryawan mengatakan, tingkat konsumsi kedelai nasional telah mencapai 2,6 juta ton per tahun, sementara tingkat produksi kedelai nasional hanya mencapai 6 ribu ton per tahun. "Sehingga kekurangannya harus dipasok dengan kedelai impor," Gita wiryawan di sela kunjungannya ke PT Nestle di Kejayan, Pasuruan, Jawa Timur, .
Tentang kenaikkan harga kedelai yang tejadi belakangan ini adalah akibat anomali iklim yang melanda negera-negara produsen kedelai. Ia berharap anomali iklim tidak berkelanjutan agar kenaikan harga kedelai tidak berlanjut, sebaliknya ia menyarankan agar perlu dicarikan solusi untuk mencari substitusi kedelai. Ia juga menilai lahan pertanian di Jawa Timur juga sangat cocok untuk dikembangkan sebagai lahan kedelai seperti halnya di Amerika Latin.
Heri Budiarto, seorang pemilik industri tahu "Terang" di jl. Untung Suropati Kota Pasuruan, harga kedelai dalam dua hari terakhir meningkat. Harga kedelai yang beberapa hari lalu masih Rp6.800 per kilogram merangkak naik menjadi Rp7.200 per kilogram, dan terakhir mencapai Rp7.500 per kilogram. Heri Budiarto mengungkapkan, kenaikkan harga kedelai yang terus meningkat berdampak pada pengurangan keuntungan. Sementara untuk meningkatkan harga juga tidak mudah, sehingga terpaksa harus mengurangi ukurannya.
Ia menyebutkan, harga tahu yang semulai Rp500,00 per potong kini meningkat menjadi Rp650,00 per potong. Seiring dengan kenaikkan harga tahu maka tingkat penjualan juga mengalami penurunan sekitar 40 persen. Jika sebelumnya ia mampu memproduksi tahu dengan bahan baku sekitar 1 ton per hari kini turun hanya mencapai sekitar 600 kilogram saja. Heri Budiarto menyebutkan, kedelai yang diolah menjadi tahu merupakan kedelai produk impor dari AS. Sedangkan kedelai lokal kini kosong di pasaran. Menurut Heri Budiarto, untuk industri tahu lebih menyukai kedelai produksi lokal karena kualitasnya cukup baik. Sebaliknya untuk industri tempe lebih menyukai kedelai impor.
Berdasarkan data BPS, laju rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 1978-2008 adalah 1,56% per tahun. Sedangkan data dari Departemen Pertanian bahwa laju pertumbuhan konsumsi kedelai tahun 1978-2008 adalah 7,22% per tahun.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi kedelai di Indonesia berkembang lebih cepat dari perkembangan laju pertumbuhan penduduk. Dengan jumlah penduduk sebanyak 220 juta orang dan rata-rata konsumsi per kapita kedelai sebesar 10 Kg/tahun maka diperlukan kacang kedelai untuk kebutuhan pangan minimal 2 juta ton per tahun. Sekitar 1,2 juta ton digunakan untuk produksi tempe dan tahu, 650 ribu ton untuk produksi kecap, dan selebihnya untuk produksi pangan lainnya. Sebanyak 1 juta ton untuk pakan ternak dan sekitar 50 ribu ton untuk benih. Meningkatnya pertumbuhan penduduk di Indonesia secara langsung mempengaruhi pertumbuhan permintaan makanan. hal ini disebabkan oleh pertambahan populasi dan perubahan pola pangan yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Dampak dari peningkatan pendapatan masyarakat adalah perubahan pola pangan dari pola pangan karbohidrat tinggi dengan protein rendah menjadi pola pangan karbohidrat lebih rendah dengan protein yang lebih tinggi. Laju rata-rata pertumbuhan pendapatan perkapita tahun 1978-2008 adalah 18,09% per tahun, ternyata lebih besar dari tingkat konsumsi kedelai di Indonesia yang 7,22% per tahun.
Konsumsi kedelai yang terus meningkat pesat setiap tahunnya, juga sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi yang ditandai oleh meningkatnya konsumsi per kapita kedelai sebesar 5,55%. Sebagian besar produksi kedelai diolah menjadi bahan pangan yang siap dikonsumsi oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung seperti tempe, tahu, kecap dan kripik tempe. Sekitar 115.000 pengusaha tahu dan tempe anggota Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (KOPTI) adalah konsumen terbesar kedelai. Mereka membutuhkan 1,2 juta ton kedelai per tahun, atau lebih dari separuh dari total kebutuhan nasional sebanyak 2,2 juta ton per tahun. Pabrik kecap, perusahaan pakan ternak, dan industri makanan minuman berada di urutan berikutnya sebagai konsumen kedelai.
Upaya pemerintah untuk memenuhi permintaan kedelai merupakan awal munculnya kebijakan impor kedelai di Indonesia. Pada tahun 1978, volume impor kedelai di Indonesia hanya mencapai 160.000 Ton, namun pada tahun 2008, volume impor kedelai telah menjadi 1.169.016 Ton. Selama periode 1978-2008, volume impor kedelai meningkat sebesar 14,56% per tahun. Impor kedelai cenderung meningkat, kondisi ini semakin memperlebar kesenjangan antara produksi dan konsumsi. Sehingga tidak heran jika Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor kedelai di dunia dengan pangsa yang cukup besar, selain Belanda, Jepang, Korea Selatan dan Jerman. Maka dari itu di samping produksi kedelai yang menurun akibat iklim, juga dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk seperti yang tertulis diatas.
Solusi :
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendorong revitalisasi Badan Urusan Logistik (Bulog) terkait melonjaknya harga kedelai dari sekitar Rp 5.500 per kilogram menjadi Rp 7.750 per kilogram. Kepala Negara meminta pemerintah mengembalikan fungsi Bulog seperti tujuan awal pendiriannya, yakni stabilisasi harga. "Bulog harus menjaga stabilitasi harga komoditas, termasuk beras, kedelai, jagung," kata Presiden ketika membuka Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta.
Selain revitalisasi Bulog, Presiden mengatakan, pemerintah terus mematangkan solusi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk mengatasi kelangkaan tahu dan tempe di pasaran. Di antara solusi tersebut, Kepala Negara menyebut upaya peningkatan produktivitas kedelai.
Peningkatan produksi dipandang penting. Setiap tahun, Indonesia mengkonsumsi sekitar 2,2 juta ton kedelai, sementara produksi dalam negeri hanya 800.00-850.000 ton kedelai. Pada masa mendatang, jumlah konsumsi kedelai di Indonesia diperkirakan meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk.
Rendahnya produksi kedelai dalam negeri disebabkan, antara lain, petani memilih menanam komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi, seperti padi. Kepala Negara dapat memahami langkah petani yang lebih memilih menanam tanaman yang bernilai ekonomis lebih tinggi tersebut. Sebelumnya, terkait kelangkaan kedelai, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah akan memfasilitasi impor kedelai dan membebaskan bea masuk sebesar 5 persen. Saat ini, perajin tahu dan tempe masih melakukan mogok produksi sebagai bentuk penyampaian aspirasi terkait melambungnya harga kedelai di pasaran.
Perajin tahu dan tempe berharap pemerintah mengetahui bahwa selama ini usaha mereka berjalan kembang kempis dengan hasil yang tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan. Melihat situasi yang ada, swasembada kedelai nasional tampaknya masih jauh. Pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait harus bersinergi dalam upaya peningkatan produksi kedelai nasional. Beberapa langkah yang perlu diambil antara lain:
  1. Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pertanian harus mengidentifikasi masalah rendahnya ketersediaan lahan untuk menanam kedelai dan mencari jalan keluar untuk mengadakan 1,5 juta hektar lahan yang diperlukan untuk mencapai swasembada kedelai.
  2. Lembaga riset seperti BATAN dan Kementerian Pertanian perlu duduk bersama untuk menggali hasil riset yang ada tentang kedelai dan menindaklanjutinya dengan langkah-langkah nyata seperti pembenihan.
  3. Pemerintah harus memikirkan mekanisme dan bentuk insentif yang tepat untuk petani agar mereka mau meningkatkan produksi kedelai.
  4. Kebijakan intensifikasi di sentra produksi, ekstensifikasi dan diversifikasi yang bertumpu pada potensi sumber daya:
Strategi yang berpijak pada keunggulan sumberdaya seperti pemanfaatan lahan dan tenaga kerja, modal dan lainnya merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi usaha tani guna mengurangi impor yang pada gilirannya dapat menciptakan keunggulan daya saing. Hal ini bisa terwujud apabila kebijakan yang sedang berlangsung dan yang akan datang mampu memberikan dukungan demi tumbuh dan berkembangnya usaha tani kedelai. Mengingat bahwa usaha tani yang rasional bukannya mengejar target produksi maksimal, namun lebih mementingkan keuntungan maksimal atau biaya minimal pada tingkat produksi tertentu.
Sementara itu, untuk meningkatkan produktivitas kedelai dari setiap lahan, petani dihadapkan pada suatu masalah penggunaan modal dan teknologi yang tepat. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, alangkah lebih baiknya dari tingkat petani, pemerintah mengombinasi penggunaan modal seperti benih, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja yang tepat sebagai dasar untuk menumbuhkan usaha tani kedelai.
Bicara mengenai benih, rendahnya pemakaian benih kedelai yang spesifik lokasi maka produktivitas kedelai rata-rata nasional baru mencapai 1,7ton/ha. Padahal di Amerika dengan menggunakan benih kedelai varietas unggul, produktivitas kedelai rata-rata mencapai 4 ton/tahun.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan petani, penekanan kita tidak cukup hanya terhadap faktor teknis agronomi tetapi juga faktor ekonomi. Keberhasilan usaha tani dalam arti tingginya produksi fisik persatuan luas usaha tani tidaklah menjamin dapat memberikan pendapatan yang tinggi pula. Faktor harga dan biaya yang diterima petani sangat berperan dalam menentukan tingkat pendapatan dari usaha tani tersebut. sedangkan tingkat harga sangat dipengaruhi oleh sistem pemasaran yang ada dari mata dagang yang dipasarkan.
Jika para petani mengetahui secara pasti tingkat harga masing-masing input dan output pada pasar yang kompetitif dan mereka bertujuan memaksimumkan keuntungan maka secara teoritis mereka akan memproduksi setiap komoditas pada tingkat output yang optimum. Tingkat output yang optimum tercapai pada saat nilai produk marginal sama dengan harga input. Pada tingakatan itu dapat dikatakan bahwa petani menggunakan sumberdaya secara efisien. Jika petani rasional dan menghadapi harga-harga input dan output yang relatif sama maka para petani yang berada pada satu hamparan lahan dengan keadaan agroekologi yang sama cenderung akan memproduksi komoditas yang sama pada musim bersangkutan. Kenyataannya, hal itu tidak selalu terjadi demikian.
Sampailah pada masukan untuk kebijakan swasembada kedelai, sebaiknya, pertama peningkatan efisiensi usahatani dapat dicapai melalui kebijakan yang lebih terfokus pada ukuran lahan usahatani, penggunaan varietas benih kedelai, penggunaan pupuk, dan produktivitas tenaga kerja. Kedua, pengunaan benih kedelai baik benih lokal maupun benih unggul sesuai dengan anjuran ahli-ahli pertanian seperti (25-30kg/ha). Ketiga, penggunaan pupuk organik dan pupuk KCl dibawah dosis yang direkomendasikan. Keempat, perlunya komitmen dan komunikasi politik antar pengambil keputusan.

EKSPOR IMPOR KEDELAI
Indonesia mengalami kelemahan dalam hal produksi kedelai, jumlah produksi kedelai mengalami penurunan secara drastic pada tahun 2002/2003. Bahkan selama tahun 1990-2004 Indonesia mengalami deficit terus menerus. Walaupun begitu ada kedelai dengan komoditas tertentu yang diekspor dengan jumlah yang sangat rendah, bahkan laju pertumbuhan ekspornya mendekati nol.
net impor.png













Dari grafik diatas terlihat bahwa laju ekspor tidak mampu untuk mengimbangi laju impor. Dari tahun ke tahun jumlah impor selalu meningkat dan jauh lebih tinggi dibandingkan laju ekspor. Dari tahu 199-2004, jumlah ekspor tertinggi terjadi pada tahun 1992 seebesar 3,91 ton. Dan volume ekspor yang jumlahnya nol(tidak ekspor sama sekali) terjadi pada tahun 1998 dan 2004.


Grafik  Ekspor dan Impor Tahun 1990-2004
            Dari grafik diatas terlihat bahwa mulai tahun 1990 , nilai impor kedelai Indonesia sudah cukup tinggi. Hal ini dikarenakan permintaan untuk konsumsi kedelai di Indonesia cukup tinggi. Sebagai makanan olahan seperti tahu dan tempe sebagai makanan kelas menengah ke bawah menjadi makanan sehari-hari warga Indonesia sebagai lauk harian. Harga kedelai yang terjangkau membuat makanan ini menjadi alternatif pilihan makanan bergizi bagi masyarakat menengah kebawah.
            Dibandingkan jenis kacang-kacangan yang lain, tempe dari bahan baku kedelai memiliki rasa yang paling gurih dan dengan harga yang relatif murah, sehingga menyebabkan permintaan akan kedelai inpor semakin tahun semakin tinggi. Hal ini juga dikarenakan kualitas kedelai impor yang jauh lebih baik daripada kedelai lokal, sehingga para pedagang tempe lebih memilih menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku untuk pembuatan tempenya.
            Dari grafik diatas terlihat ada penurunan nilai impor kedelai pada tahun 1998 dan langsung meningkat tajam lagi mulai tahun1999 bahkan menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,  pada tahun ini nilai impor kedelai meningkat drastis dikarenakan dampak dari krisis moneter yang terjadi di Indonesia, angka menunjukkan nilai yang sangat fantastis mencapai 1302 ton impor. Dan hampir konstan sampai pada tahun 2004.
DATA IMPOR KEDELAI TAHUN 2012
Melonjaknya harga kedelai akibat pasokan yang terbatas menjadi bukti bahwa berbagai program dan upaya yang dirancang beberapa tahun lalu tidak efektif. Lonjakan harga kedelai yang berakibat pada meningkatnya biaya produksi tahu dan tempe tersebut sebenarnya sudah berulang kali terjadi. Selama lonjakan itu pula, belum pernah ada solusi tepat dalam produksi dan tata niaga untuk mengatasi lonjakan harga kedelai. Ketergantungan Indonesia pada kedelai impor sangat tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, produksi kedelai lokal hanya 851.286 ton atau 29 persen dari total

            Indonesia harus mengimpor kedelai 2.087.986 ton untuk memenuhi 71 persen kebutuhan kedelai dalam negeri.  Pada 2012, total kebutuhan kedelai nasional 2,2 juta ton. Jumlah tersebut akan diserap untuk pangan atau perajin 83,7 persen; industri kecap, tauco, dan lainnya 14,7 persen; benih 1,2 persen; dan untuk pakan 0,4 persen. Impor kedelai terbesar Indonesia dari Amerika Serikat dengan jumlah 1.847.900 ton pada 2011.

            Kemudian, impor dari Malaysia 120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton. Anomali cuaca di Amerika Serikat dan Amerika Selatan menyebabkan pasokan kedelai pun turun dan harganya melonjak. Harga kedelai internasional pada minggu ke-3 Juli 2012 mencapai 622 dolar AS per ton atau Rp 8.345 per kilogram (kg) untuk harga impor di dalam negeri. Harga ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga tertinggi pada 2011, yaitu bulan Februari sekitar 513 dolar AS per ton atau harga paritas impor di dalam negeri sekitar Rp 6.536 per kg. 

            Dengan harga kedelai impor yang menembus Rp 8.000 per kg menyebabkan para perajin tempe dan tahu terancam gulung tikar karena daya beli konsumen yang terbatas. Harga kedelai tersebut meningkat dari rata-rata Rp 5.500-Rp 6.500 per kg. Di tengah gejolak harga kedelai, perlu dipahami bahwa ada dua persoalan dalam pasokan kedelai, yakni produksi dan distribusi. Untuk produksi, sekalipun banyak janji ada jutaan hektare (ha) lahan terlantar, Indonesia selalu kesulitan dalam ekspansi lahan sampai pada tingkat pemanfaatan. 


           

            Selain perluasan lahan, pemerintah juga menargetkan peningkatan produksi kedelai dengan sistem tumpang sari dengan potensi lahan setara 200 ribu ha. Selain perluasan lahan, Kementerian Pertanian juga mengupayakan peningkatan produktivitas dari 1,3 ton per ha menjadi 1,54 ton per ha, pemberian bantuan benih unggul, meningkatkan penggunaan pupuk, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. 

            Jika melihat kenyataannya, hampir semua rencana tersebut tidak berjalan optimal. Bahkan, ada beberapa rancangan program tidak pernah terealisasi dan hanya menjadi bahan kampanye rutin untuk menghibur para calon pemilih. Ironisnya lagi, rakyat Indonesia seakan “buta” atas manipulasi tersebut dan tidak pernah memberikan sanksi terhadap keasalahan yang dilakukan para pemimpin negara ini.
           
            Saat ini, jika berbicara soal kedelai pada tingkat petani, maka minat budidaya sangat rendah. Petani lebih memilih padi dan jagung dibandingkan kedelai yang minim insentif dan sulit dalam pemasarannya. Sebenarnya, faktor harga jual yang rendah pun menyebabkan petani enggan untuk menanam kedelai. Untuk itu, ketika harga kedelai melonjak justru lebih banyak disuarakan oleh para konsumen dan produsen tahu serta tempe.

            Sebaliknya, petani justru berharap pada harga yang layak dibandingkan dengan rata-rata Rp 5.000 per kg di tingkat petani saat ini. Berbagai faktor yang kurang menunjang peningkatan produksi tersebut adalah akibat dari dibukanya keran impor kedelai sejak satu dekade silam. Indonesia pernah swasembada kedelai pada 1992 dengan proteksi. Tetapi setelah krisis moneter 1998, Dana Moneter Internasional (IMF) mendikte Indonesia agar tidak memberikan proteksi kepada kedelai.

            Dengan konsumsi kedelai dalam negeri yang mencapai 1,9 juta ton per tahun, hal itu menjadi peluang bisnis yang sangat menguntungkan. Dalam letter of intent (LoI) IMF, proteksi impor yang selama ini dipegang Badan Urusan Logistik (Bulog) harus dihapuskan sehingga impor bisa masuk. Awalnya, kemampuan impor kedelai Indonesia tidak terlalu besar karena kapasitas finansialnya terbatas, sedangkan produksi kedelai di negara-negara produsen berlimpah.


            Sejak awal pintu impor dibuka, banyak fasilitas kredit ekspor yang diperoleh eksportir negara-negara produsen yang bekerja sama para importir lokal. Negara-negara tersebut memberi pinjaman tanpa bunga kepada Indonesia untuk impor kedelai, sehingga kemudian bisa dipasarkan di dalam negeri. "Seharusnya kita curiga kenapa bisa pinjam tanpa bunga.

            Padahal bunga deposito saat itu mencapai 50-60% dan paling rendah 30%. Akibatnya, saat ini 70% kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi dari impor. Kalau pemerintah dan pengusaha sudah akrab, apapun bisa terjadi," kata Guru Besar Universitas Gadjah Mada Mochammad Maksum dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi IV DPR di Jakarta, pada pertengahan Februari 2012 lalu.         
   

            Sejumlah importir yang tadinya menikmati berbagai fasilitas kredit ekspor itu pun semakin lama berkembang dengan akumulasi modal yang terus bertambah. Secara bersamaan, kebijakan pemerintah tidak pernah dirancang untuk kepentingan jangka panjang sehingga menjadi kesempatan bagi para importir. Setiap ganti rezim dengan ganti menteri akan diikuti dengan program yang berganti-ganti. “Kondisinya akan semakin parah ketika program-program kementerian lebih berorientasi untuk kepentingan konstituen dan partai politik pendukungnya. Jangan heran jika Indonesia sulit mewujudkan kedaulatan pangan. Kalaupun tidak ada korupsi, program-program pembangunan pertanian diarahkan untuk kepentingan tertentu,” kata Direktur Eksekutif Institute for Sustainable Agriculture and Rural Livelihood (Elsppat) Daniel Mangoting.
Importir kedelai yang tedaftar di Kementerian Perdagangan tercatat lebih dari 70 perusahaan. Namun, hanya nama-nama tertentu yang menjadi penentu pasok dalam skala besar. Informasi yang diperoleh SP menyebutkan sejumlah importir besar tersebut, seperti PT Cargill Indonesia, PT Gerbang Cahaya Utama, PT Sekawan Makmur Bersama,  PT Teluk Intan,  PT Sungai Budi dan PT Gunung Sewu. Upaya SP mengkonfirmasi para importir tersebut belum bisa dilakukan sehingga tidak ada penjelasan yang lebih rinci. Kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina tercatat antara 200 ribu ton hingga 500 ribu ton untuk setiap perusahaan.



REFERENSI

Adisarwanto, T. 2005. Budidaya dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai. Penebar Swadaya: Bogor
Gardner, F.P., Pearce, P. R. B., Mitchell, R. L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press: Jakarta.
Irwan, W.A. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill). Universitas Padjajaran: Jatinangor.
Prihatman, K. 2000. Kedelai (Glycine max L). Sistem Informasi Manajemen Pembangunan di Pedesaan, Proyek PEMD, BAPPENAS.
Setiadi, Fajar Arif. 2012. Produksi Kedelai di Bawah Satu Juta Ton. http://www.solopos.com/2012/07/24/produksi-kedelai-indonesia-di-bawah-1-juta-ton-204075. Surakarta: Solopos. Diakses tanggal 16 September 2012.
Supadi.2012.Dampak impor kedelai berkelanjutan terhadap ketahanan pangan.Pusat Anailis Sosial Ekonomi dan Kebijakn Pertanian.Jl.A. Yani 70 Bogor 16161.
Ruslan, Kadir.2012.Produksi Kedelai:”Indonesia Bangsa Tempe”. http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2012/07/28/produksi-kedelai-indonesia-%E2%80%9Cbangsa-tempe%E2%80%9D/. Jakarta: Kompasiana. Diakses tanggal 16 September 2012.




ULASAN VIDEO DEGRADASI LINGKUNGAN
Hutan Indonesia salah satu hutan tropis terluas sebagai paru–paru dunia, dan keragaman hayati tertinggi di dunia. Sayangnya dalam 50 tahun 64 juta hektar hilang atau 40% dari luas hutan sebelumnya. Sejak 1996 laju kehilangan hutan Indonesia 2 juta hektar/tahun. Pengolahan HPH yang tidak memperhatikan keberlanjutan menyebabkan hilangnya 17,4 di tiga pulau besar yaitu Sumatra, Kalimantan, Sulawesi sejak tahun 1970. Kebakaran hutan menjadi salah satu faktor hilangnya hutan alam seluas 9,7 juta hektar. Pembangunan sector perkebunan selama 30 tahun terakhir menciptakan 2,3 juta hektar kelapa sawit, 9 juta, 9 juta hektar hutan rusak oleh tanaman industry dan perkebunan, 4 juta hektar hutan hilang oleh pemukiman dan pertanian. Hal ini diakibatkan adanya kepentingan politik dan pemasaran global. Lemahnya hukum semakin menyebabkan ketidakpastian dalam pengelolaan dan pemamfaatan hutan. Ditambah lagi dengan kasus otonomi daerah yang melahirkan konflik pengelolaan lahan.

Referensi:
Inlinepostproduction.2012.Hutanku Hilang dalam 1 Menit. http://www.youtube.com/watch?v=5v4-wUpUiro. Diakses tanggal 18 September 2012.
















Ecological Footprint
            Menurut data di atas dapat kita lihat bahwa Negara yang berpenduduk tinggi dan memiliki GDP lebih rendah dari pada USA memiliki ecological footprint lebih rendah dari pada Negara maju yang memiliki penduduk lebih lebih sedikit dengan GDB lebih besar, contohnya China dengan USA. China memiliki penduduk yang lebih tinggi dengan GDB yang lebih rendah dibandingkan dengan USA yang memiliki jumlah penduduk lebih rendah dan memiliki GDB yang tinggi. Kita bisa menarik kesimpulan bahwa jumlah penduduk yang tinggi tidak bisa menjamin ecological footprint tinggi.
            Kita dapat megganalisis footprint dari ketersedian air, pangan, pepohonan, jalan untuk transportasi dan area pertanian,dll. Guna memenuhi kebutuhan manusia, pengaruh kebiasaan pengonsumsian jumlah makanan juga dapat mempengaruhi footprint seperti contoh negara miskin Ethiopia di afrika yang memiliki GDP rendah data footprin’nya juga rendah.
            Kesuburan dan luas lahan produksi pertanian dan hutan juga akan mempengaruhi footprint seperti cina yang memiliki kawasan yang luas dengan lahan pertanian yang luas dan memilik’i teknologi yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduk cina bahkan mengespor ke luar negri. Sedangkan USA Negara yang sangat maju memiliki luas wilayah yang tidak seluas Cina bahkan hamper seluruh wilayah USA d penuhi dengan gedung-gedung dan bangunan-bangunan sehingga memiliki lahan pertanian yang tidak seluas Cina
            Menurut hasil analisis kelompok kami menyimpulkan berbagai Negara di atas tentang konsep tapak ekologi adalah sebagai berikut:
1.      USA, Australia, United Kingdom, Japan, Argentina, Brazil
Dengan perhitungan tapak ekologi dalam table dihasilkan sebesar 12,2 ha untuk jatah manusia USA perorangnya. Sedangkan dari rata-rata kebutuhan manusia di dunia terhadap daya dukung liingkungan yang tersedia adalah sebesar 2 ha per kapita. Hal ini menujukkan ketidak merataan dan pemborosan lingkungan oleh masyarakat USA yang sangat besar dengan 610% lebih besar dari rata-rata tapak ekologi dunia.
Begitu pula yang terjadi dengan Negara besar seperti Australia sampai Brazil juga melakukan pemborosan dan berlebih dibannding kebutuhan rata-rata Dunia. Hal ini memicu terciptanya kesenjangan pemenuhan kebutuhan hidup bukan hanya di tiap Negara, tapi dalam tataran Dunia. Akibatnya adalah berbagai Negara di belahan bumi lain mengalami kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya

2.      China, Egypt, India, Ethopia, Bangladesh
Negara tersebut diatas merupakan korban dari ketidakseimbangan yang ditimbulkan oleh Negara-negara besar dunia yang lain yang mengakibatkan tiap masyarakatnya memperoleh daya dukung lahan yang kurang dibandingkan dengan kebutuhan rata-rata dunia yakni yang sebesar 2 ha per kapita, apalagi bila dibandingkan dengan daya dukung lahan yang diperoleh Negara besar lain seperti  USA, Australia, United Kingdom, Japan, Argentina, Brazil.
Belum lagi efeknya yang akan ditimbulkan dalam internal Negara tersebut, yakni pembangunan yang tidak merata dan akan timbulnya kesenjangan yang sangat jauh antar masyarakat dalam Negara terlebih antar Negara.









TUGAS TERSTRUKTUR PERTANIAN BERLANJUT (ASPEK SOSIAL-EKONOMI)
KOMODITI KEDELAI

KELOMPOK 3:
Usda Kristina Tassariya          105040101111010
Mey Nilasari                            105040113111016
Afis Abdullah                                      105040101111052
Agus Sujiwo                            105040101111083
Wisnu Berniadi                      105040101111084
Jemny Surya F                        105040100111035
Aldo Aprilianto                       105040101111008
M. Fajri Akbar                        105040100111005
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012

2 komentar:

  1. kok gambarnya gak ada yg muncul yaaa

    BalasHapus
  2. DISTRIBUTOR KEDELAI IMPORT Khusus Kedelai USA

    Kepada Yth. Bp/Ibu.

    Dengan Hormat,

    Bersama ini Kami dari CV. GIHON SUKSES MAKMUR yang bergerak dibidang Distributor Trading Palawija Kedelai Import Khusus Kedelai USA bermaksud menawarkan Produk-Produk Kami.

    Diantaranya adalah :
    1. Kedelai Cap “BINTANG MERAH”.
    2. Kedelai Cap “BOLA EMAS”.
    3. Kedelai Cap “BOLA HIJAU”.
    4. Kedelai Cap “DAHLIA”.
    5. Kedelai Cap “GS”.
    6. Kedelai Cap “IGF”.
    7. Ragi Tempe Cap “RAPRIMA”.
    8. Ciok O atau Batu Tahu.


    Kami selalu menjaga Kualitas Produk kami, ketersediaan Stock dan Harga Kompetitif yang selalu Ter-Update.

    Demikian Info penawaran dari kami, Atas segala perhatiaanya, Kami Ucapkan TERIMAKASIH.

    Info lebih lanjut, silakan Kunjungi website kami di www.gihonsuksesmakmur.com

    Atau,
    Kantor Kami:
    Jl. Brigjend. Sudiarto 446-A
    Semarang – Jawa Tengah – Indonesia.
    Telpon: 62 (024) 6719445

    Atau Hotline:
    Bp. Budi Hartono Sutjipto
    HP: 082.13567.5729.

    Email:
    - Sukses_999@yahoo.com
    - cvgihonsuksesmakmur@gmail.com
    - cvgihonsuksesmakmur@yahoo.om
    - cvgihonsuksesmakmur@hotmail.com


    Hormat Kami,

    CV.GIHON SUKSES MAKMUR.

    BalasHapus