PRODUKSI KEDELAI
INDONESIA
Kedelai
sebagai salah satu komoditi pertanian yang berperan sebagai sumber daya
penghasil protein terbaik manusia merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam
pemenuhan kebutuhan akan nutrisi pada tubuh manusia. Selain itu, bagi
masyarakat Indonesia kedelai telah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan
sehari-hari berkaitan dengan penggunaan kedelai tersebut sebagai bahan lauk-pauk
dan pelengkap makanan lainnya, seperti pengolahannya menjadi tempe, tahu, dan
kecap. Hal tersebut mengakibatkan tingginya permintaan kedelai di pasar dalam
negeri terutama untuk memenuhi permintaan rumah tangga. Sementara itu
ironisnya, produksi kedelai dari dalam negeri sendiri justru terus mengalami
penurunan bahkan mengakibatkan peningkatan terhadap kuantitas kedelai impor di
pasar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun industri di dalam negeri.
Semakin
menurunnya kuantitas produksi kedelai dalam negeri ini menurut Wakil Menteri
Perdagangan diakibatkan oleh adanya penurunan luas lahan daripada areal
pertanian sendiri, seperti semakin gencarnya alih fungsi lahan pertanian
menjadi area pemukiman dan lainnya. Selain itu, permasalahan ini juga disebabkan
oleh kurangnya insentif yang dimiliki petani untuk membeli bibit kedelai, dan
rendahnya daya saing kedelai Indonesia dengan komoditi kedelai impor yang
notabene justru memiliki harga yang jauh lebih murah dibanding kedelai lokal.
Berikut adalah tabel produksi kedelai Indonesia dari tahun 2007-2012 :
Sumber
: BPS 2012
Grafik
produksi kedelai Indonesia tahun 2007-2012
Pada data yang ditampilkan dalam tabel dan grafik di
atas tampak bahwa produksi kedelai di Indonesia dari tahun 2007 sampai 2012 terus
mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebanyak 592534 ton kedelai sampai
puncaknya yaitu pada tahun 2009 sebanyak 974512 ton, kemudian terus menurun
hingga tahun 2012 yaitu sebesar 779741 ton kedelai sebagaimana yang baru saja
menjadi fenomena karena mengakibatkan kelangkaan komoditi kedelai yang dapat
merugikan produsen pengolahan kedelai seperti produsen tempe dan tahu,
sebagaimana diketahui bahwa tempe dan tahu merupakan bahan pangan sehari-hari
yang permintaannya sangat tinggi oleh masyarakat Indonesia. Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa kelangkaan tersebut diakibatkan oleh semakin
berkurangnya lahan pertanian untuk kedelai sendiri akibat tingginya intensitas
alih guna lahan pertanian menjadi larea pemukiman. Sehingga hal ini memicu
terjadinya impor kedelai yang notabene harganya justru lebih murah daripada
kedelai lokal.
Studi Kasus:
Produksi Kedelai: Indonesia “Bangsa Tempe”
Sudah tiga hari lamanya menu
gorengan tempe dan tahu tak lagi tersaji di warung makan Tegal (warteg) tempat
saya biasa santap sahur. Nampaknya, ini merupakan buntut dari meroketnya harga
kedelai belakangan ini sehingga memaksa sejumlah perajin tahu-tempe menyetop
produksinya. Alhasil, kedua panganan
hasil olahan kedelai tersebut pun menjadi langka, bahkan menghilang di sejumlah
tempat.
Kabarnya, suplai komoditas kedelai
sedang terganggu. Harga komoditas ini di pasar internasional dikabarkan
melambung akibat gangguan produksi (anomali iklim) yang terjadi di sejumlah
negara utama pemasok kedelai di pasar dunia. Amerika Serikat (AS), misalnya,
saat ini sedang dilanda kekeringan. Kondisi ini tentu sangat tidak
menguntungkan buat Indonesia yang sebagian besar pemenuhan kebutuhan kedelainya
bergantung pada impor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan, sekitar 71 persen pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri di
tahun 2011 berasal dari impor. Tahun lalu, Indonesia harus mengimpor sebanyak
2.087.986 ton kedelai karena produksi kedelai dalam negeri hanya mencapai
851.286 ton. Sebagian besar kedelai impor tersebut berasal dari AS, yakni
sebesar 1.847.900 ton. Diketahui, sekitar 83,7 persen kedelai impor diserap
untuk pembuatan tahu dan tempe (Kompas.com, 27/07), menjadikan industri yang
satu itu ini begitu bergantung pada kedelai impor.
Bencana kekeringan yang tengah
melanda AS dan Amerika Selatan (pemasok utama komoditas kedelai dunia)
mengakibatkan suplai kedelai di pasar internasional terganggu sehingga harganya
melambung. Itulah sebab, harga kedelai impor di dalam negeri saat ini meroket
karena harga di pasar internasional juga tinggi. Celakanya, ada indikasi kuat
telah terjadi praktek kartel dalam importasi komoditas ini: pemasok kedelai
impor (importir) jumlahnya hanya segelintir, dan mereka memiliki ruang yang
lebih untuk memainkan harga sekehendak hati. Konsekwensinya jelas, harga
kedelai impor bisa naik berlipat-lipat melebihi kewajaran hanya untuk memuaskan
hasrat meraup untung berlipat segelintir orang tersebut. Dan, nampaknya itulah
yang tengah terjadi saat ini.
Terkait hal ini, kabarnya pemerintah
telah memutuskan untuk membuka keran impor sederas-derasnya dalam jangka
pendek. Mulai 1 Agustus hingga akhir Desember tahun ini, bea masuk kedelai
impor, yang tadinya sebesar 5 persen, akan diturunkan menjadi 0 persen
(Kompas.com. 27/07). Langkah pemerintah ini membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi para pegiat usaha pembuatan tahu-tempe (koperasi dan
perajin) untuk melakukan impor kedelai secara langsung sehingga kenaikan harga
kedelai saat ini bisa ditekan dan produksi tahu-tempe, yang begitu bergantung
pada kedelai impor, tidak terhenti.
Swasembada
kedelai
Langkah yang ditempuh pemerintah di
atas tentu hanyalah solusi sesaat. Masalah serupa akan terus berulang jika
pemenuhan kebutuhan kedelai negeri ini terus bergantung pada kedelai impor.
Dan, satu-satunya cara agar negeri ini tidak lagi bergantung pada kedelai impor
adalah “swasembada kedelai”.
Sebetulnya, sejak tahun 2010 lalu,
pemerintah telah menetapkan sejumlah target ambisius terkait produksi komoditas
pangan, termasuk kedelai. Swasembada kedelai ditargetkan akan tercapai pada
tahun 2014. Kita tentu tidak menafikan berbagai upaya yang telah dilakukan
pemerintah dalam menggenjot produksi kedelai nasional selama ini. Tapi melihat
perkembangan yang terjadi, kita patut pesimis. Nampaknya, target ambisius
tersebut bakal urung tercapai. Pemerintah nampaknya hanya jago membuat target,
tapi lemah dalam merealisasikannya. Betapa tidak. Menurut catatan BPS, sejak
tahun 2009 hingga kini, produksi kedelai nasional terus menurun (seperti yang
ditunjukkan pada grafik dan tabel sebelumnya).
Pemerintah selalu berkilah, terjadi
kompetisi antara tanaman kedelai dan jagung di lapangan. Pasalnya, kedua
komoditas ini ditanam pada lahan yang sama sehingga terjadi trade off: mana yang lebih menguntungkan
itu yang ditanam oleh petani. Dan Saat ini, komoditas jagung lebih
menguntungkan dibanding kedelai sehingga petani lebih memilih menanam jagung.
Jika dicermati, perkembangan
struktur ongkos usaha tani kedelai memang terus meningkat. Sementara pada saat
yang sama, perkembangan harga jual komoditas ini cenderung stagnan. Kombinasi
antara tingginya biaya produksi dan harga jual yang tidak kompetitif menjadikan
petani tidak begitu tertarik untuk menaman kedelai. Kita tentu patut curiga,
jangan-jangan ini merupakan indikasi tidak adanya keseriusan dan lemahnya
insentif serta perhatian pemerintah selama ini.
Pertanyaannya kemudian, sampai kapan
kondisi ini terus berlanjut? Tentu harus ada upaya-upaya serius dari pemerintah
untuk menyelesaikannya. Upaya memperluas areal tanam tentu bagus, tapi tentu
tidak mudah melakukannya. Peraga di atas dengan terang juga menunjukkan, luas
panen kedelai terus menurun. Ini merupakan indikasi kuat bahwa pemerintah telah
gagal menambah luas areal tanam kedelai secara berarti selama ini. Terkait
produksi kedelai, jangan sampai kita menjadi “bangsa tempe” seperti yang
dikatakann Bung Karno karena tidak mampu mewujudkan yang namanya kemandirian
dan kedaulatan pangan atas negeri ini.
DATA KONSUMSI KEDELAI
DI INDONESIA PADA TINGKAT NASIONAL
DARI TAHUN 1999-2006
Konsumsi kedelai pada
tingkat nasional per kapita per tahun mengalami fluktuasi. Pada tahun 1999
konsumsi kedelai berkisar antara 5,7 kg/
kapita/ thn. Dan mengalami peningkatan pada tahun 2002 sebesar 7,1 kg/kapita/thn.
Kemudian berbanding terbalik pada tahun 2003 terjadi penurunan 2 persen dari
tahun sebelumnya. Selanjutnya konsumsi meningkat, rata-rata 6,3 persen/tahun,
sehingga pada tahun 2008 mencapai 8,31 kg/kapita/tahun. Kondisi konsumsi ini
kontradiktif dengan produksi. Pada satu sisi produksi demikian rendah, pada
sisi lain konsumsi tumbuh meningkat sebesar 4,3 persen/tahun. Indikasi
peningkatan ketergantungan impor telah muncul dengan perbedaan fenomena
pertumbuhan produksi dan konsumsi kedelai domestik.
Mengingat di Indonesia
saat ini pada hasil pertanian kedelai mengalami penurunan baik dari segi
produktivitasnya. Akan tetapi permintaan yang terjadi meningkat tajam dan dapat
dikatakan bahwa kedelai di Indonesia mengalami krisis. Lebih parahnya,
Indonesia lebih banyak impor kedelai dari luar untuk memenuhi kebutuhan
masyarakatnya. Selain itu dari data di atas dapat diketahui atas konsumsi
masyarakat terhadap kedelai yang mengalami kenaikan yang drastic dari tahun
2004 sampai 2006. Seharusnya pemerintah dapat menentukan kebijakannya dalam
pengurangan impor kedelai dan meningkatkan produktivitas kedelai di dalam
negeri. Sehingga dengan begitu permintaan akan kedelai yang ada dalam negeri
dapat terpenuhi.
Ada pun grafik yang
menunjukkan peningkatan maupun penurunan yang terjadi pada konsumsi kedelai.
Studi Kasus
Konsumsi Kedalai Nasional Capai 2,6
Juta Ton Per Tahun Yang Kekurangannya Harus di Pasok dengan Kedelai Impor
Pasuruan (ANTARA
News) - Menteri Perdagangan, Gita wiryawan mengatakan, tingkat konsumsi kedelai
nasional telah mencapai 2,6 juta ton per tahun, sementara tingkat produksi
kedelai nasional hanya mencapai 6 ribu ton per tahun.
"Sehingga kekurangannya harus dipasok dengan
kedelai impor," Gita wiryawan di sela kunjungannya ke PT Nestle di Kejayan,
Pasuruan, Jawa Timur, .
Tentang
kenaikkan harga kedelai yang tejadi belakangan ini adalah akibat anomali iklim
yang melanda negera-negara produsen kedelai.
Ia berharap anomali iklim tidak berkelanjutan agar
kenaikan harga kedelai tidak berlanjut, sebaliknya ia menyarankan agar perlu
dicarikan solusi untuk mencari substitusi kedelai. Ia juga menilai lahan pertanian di Jawa Timur juga sangat
cocok untuk dikembangkan sebagai lahan kedelai seperti halnya di Amerika Latin.
Heri Budiarto,
seorang pemilik industri tahu "Terang" di jl. Untung Suropati Kota
Pasuruan, harga kedelai dalam dua hari terakhir meningkat.
Harga kedelai yang beberapa hari lalu masih Rp6.800
per kilogram merangkak naik menjadi Rp7.200 per kilogram, dan terakhir mencapai
Rp7.500 per kilogram. Heri Budiarto
mengungkapkan, kenaikkan harga kedelai yang terus meningkat berdampak pada
pengurangan keuntungan. Sementara untuk meningkatkan harga juga tidak mudah,
sehingga terpaksa harus mengurangi ukurannya.
Ia menyebutkan,
harga tahu yang semulai Rp500,00 per potong kini meningkat menjadi Rp650,00 per
potong. Seiring dengan kenaikkan harga tahu maka tingkat penjualan juga
mengalami penurunan sekitar 40 persen.
Jika sebelumnya ia mampu memproduksi tahu dengan bahan
baku sekitar 1 ton per hari kini turun hanya mencapai sekitar 600 kilogram
saja. Heri Budiarto menyebutkan, kedelai yang
diolah menjadi tahu merupakan kedelai produk impor dari AS. Sedangkan kedelai
lokal kini kosong di pasaran. Menurut Heri
Budiarto, untuk industri tahu lebih menyukai kedelai produksi lokal karena
kualitasnya cukup baik. Sebaliknya untuk industri tempe lebih menyukai kedelai
impor.
Berdasarkan data BPS, laju rata-rata
pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 1978-2008 adalah 1,56% per tahun.
Sedangkan data dari Departemen Pertanian bahwa laju pertumbuhan konsumsi
kedelai tahun 1978-2008 adalah 7,22% per tahun.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
tingkat konsumsi kedelai di Indonesia berkembang lebih cepat dari perkembangan
laju pertumbuhan penduduk. Dengan jumlah penduduk sebanyak 220 juta orang dan
rata-rata konsumsi per kapita kedelai sebesar 10 Kg/tahun maka diperlukan
kacang kedelai untuk kebutuhan pangan minimal 2 juta ton per tahun. Sekitar 1,2
juta ton digunakan untuk produksi tempe dan tahu, 650 ribu ton untuk produksi
kecap, dan selebihnya untuk produksi pangan lainnya. Sebanyak 1 juta ton untuk
pakan ternak dan sekitar 50 ribu ton untuk benih. Meningkatnya pertumbuhan
penduduk di Indonesia secara langsung mempengaruhi pertumbuhan permintaan
makanan. hal ini disebabkan oleh pertambahan populasi dan perubahan pola pangan
yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Dampak dari peningkatan pendapatan
masyarakat adalah perubahan pola pangan dari pola pangan karbohidrat tinggi
dengan protein rendah menjadi pola pangan karbohidrat lebih rendah dengan
protein yang lebih tinggi. Laju rata-rata pertumbuhan pendapatan perkapita
tahun 1978-2008 adalah 18,09% per tahun, ternyata lebih besar dari tingkat
konsumsi kedelai di Indonesia yang 7,22% per tahun.
Konsumsi kedelai yang terus meningkat pesat
setiap tahunnya, juga sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan
gizi yang ditandai oleh meningkatnya konsumsi per kapita kedelai sebesar 5,55%.
Sebagian besar produksi kedelai diolah menjadi bahan pangan yang siap
dikonsumsi oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung seperti
tempe, tahu, kecap dan kripik tempe. Sekitar 115.000 pengusaha tahu dan tempe
anggota Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (KOPTI) adalah konsumen
terbesar kedelai. Mereka membutuhkan 1,2 juta ton kedelai per tahun, atau lebih
dari separuh dari total kebutuhan nasional sebanyak 2,2 juta ton per tahun.
Pabrik kecap, perusahaan pakan ternak, dan industri makanan minuman berada di
urutan berikutnya sebagai konsumen kedelai.
Upaya pemerintah untuk memenuhi
permintaan kedelai merupakan awal munculnya kebijakan impor kedelai di
Indonesia. Pada tahun 1978, volume impor kedelai di Indonesia hanya mencapai
160.000 Ton, namun pada tahun 2008, volume impor kedelai telah menjadi
1.169.016 Ton. Selama periode 1978-2008, volume impor kedelai meningkat sebesar
14,56% per tahun. Impor kedelai cenderung meningkat, kondisi ini semakin
memperlebar kesenjangan antara produksi dan konsumsi. Sehingga tidak heran jika
Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor kedelai di dunia dengan pangsa
yang cukup besar, selain Belanda, Jepang, Korea Selatan dan Jerman. Maka dari
itu di samping produksi kedelai yang menurun akibat iklim, juga dipengaruhi
oleh peningkatan jumlah penduduk seperti yang tertulis diatas.
Solusi :
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mendorong revitalisasi Badan Urusan Logistik (Bulog) terkait
melonjaknya harga kedelai dari sekitar Rp 5.500 per kilogram menjadi Rp 7.750
per kilogram. Kepala Negara meminta pemerintah mengembalikan fungsi Bulog
seperti tujuan awal pendiriannya, yakni stabilisasi harga. "Bulog harus
menjaga stabilitasi harga komoditas, termasuk beras, kedelai, jagung,"
kata Presiden ketika membuka Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden,
Jakarta.
Selain
revitalisasi Bulog, Presiden mengatakan, pemerintah terus mematangkan solusi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk
mengatasi kelangkaan tahu dan tempe di pasaran. Di antara solusi tersebut,
Kepala Negara menyebut upaya peningkatan produktivitas kedelai.
Peningkatan
produksi dipandang penting. Setiap tahun, Indonesia mengkonsumsi sekitar 2,2
juta ton kedelai, sementara produksi dalam negeri hanya 800.00-850.000 ton
kedelai. Pada masa mendatang, jumlah konsumsi kedelai di Indonesia diperkirakan
meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk.
Rendahnya
produksi kedelai dalam negeri disebabkan, antara lain, petani memilih menanam
komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi, seperti padi. Kepala
Negara dapat memahami langkah petani yang lebih memilih menanam tanaman yang
bernilai ekonomis lebih tinggi tersebut. Sebelumnya, terkait kelangkaan
kedelai, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah
akan memfasilitasi impor kedelai dan membebaskan bea masuk sebesar 5 persen.
Saat ini, perajin tahu dan tempe masih melakukan mogok produksi sebagai bentuk
penyampaian aspirasi terkait melambungnya harga kedelai di pasaran.
Perajin tahu
dan tempe berharap pemerintah mengetahui bahwa selama ini usaha mereka berjalan
kembang kempis dengan hasil yang tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan.
Melihat situasi yang ada, swasembada kedelai nasional tampaknya masih jauh.
Pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait harus bersinergi dalam upaya
peningkatan produksi kedelai nasional. Beberapa langkah yang perlu diambil antara
lain:
- Badan
Pertanahan Nasional dan Kementerian Pertanian harus mengidentifikasi
masalah rendahnya ketersediaan lahan untuk menanam kedelai dan mencari
jalan keluar untuk mengadakan 1,5 juta hektar lahan yang diperlukan untuk
mencapai swasembada kedelai.
- Lembaga
riset seperti BATAN dan Kementerian Pertanian perlu duduk bersama untuk
menggali hasil riset yang ada tentang kedelai dan menindaklanjutinya
dengan langkah-langkah nyata seperti pembenihan.
- Pemerintah
harus memikirkan mekanisme dan bentuk insentif yang tepat untuk petani
agar mereka mau meningkatkan produksi kedelai.
- Kebijakan intensifikasi di sentra produksi,
ekstensifikasi dan diversifikasi yang bertumpu pada potensi sumber daya:
Strategi yang berpijak pada
keunggulan sumberdaya seperti pemanfaatan lahan dan tenaga kerja, modal dan
lainnya merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi usaha tani guna
mengurangi impor yang pada gilirannya dapat menciptakan keunggulan daya saing.
Hal ini bisa terwujud apabila kebijakan yang sedang berlangsung dan yang akan
datang mampu memberikan dukungan demi tumbuh dan berkembangnya usaha tani
kedelai. Mengingat bahwa usaha tani yang rasional bukannya mengejar target
produksi maksimal, namun lebih mementingkan keuntungan maksimal atau biaya minimal
pada tingkat produksi tertentu.
Sementara itu, untuk meningkatkan
produktivitas kedelai dari setiap lahan, petani dihadapkan pada suatu masalah
penggunaan modal dan teknologi yang tepat. Dalam menghadapi permasalahan
tersebut, alangkah lebih baiknya dari tingkat petani, pemerintah mengombinasi
penggunaan modal seperti benih, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja yang tepat
sebagai dasar untuk menumbuhkan usaha tani kedelai.
Bicara mengenai benih, rendahnya
pemakaian benih kedelai yang spesifik lokasi maka produktivitas kedelai
rata-rata nasional baru mencapai 1,7ton/ha. Padahal di Amerika dengan
menggunakan benih kedelai varietas unggul, produktivitas kedelai rata-rata
mencapai 4 ton/tahun.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan
petani, penekanan kita tidak cukup hanya terhadap faktor teknis agronomi tetapi
juga faktor ekonomi. Keberhasilan usaha tani dalam arti tingginya produksi
fisik persatuan luas usaha tani tidaklah menjamin dapat memberikan pendapatan
yang tinggi pula. Faktor harga dan biaya yang diterima petani sangat berperan
dalam menentukan tingkat pendapatan dari usaha tani tersebut. sedangkan tingkat
harga sangat dipengaruhi oleh sistem pemasaran yang ada dari mata dagang yang
dipasarkan.
Jika para petani mengetahui secara
pasti tingkat harga masing-masing input dan output pada pasar yang kompetitif
dan mereka bertujuan memaksimumkan keuntungan maka secara teoritis mereka akan
memproduksi setiap komoditas pada tingkat output yang optimum. Tingkat output
yang optimum tercapai pada saat nilai produk marginal sama dengan harga input.
Pada tingakatan itu dapat dikatakan bahwa petani menggunakan sumberdaya secara
efisien. Jika petani rasional dan menghadapi harga-harga input dan output yang
relatif sama maka para petani yang berada pada satu hamparan lahan dengan
keadaan agroekologi yang sama cenderung akan memproduksi komoditas yang sama
pada musim bersangkutan. Kenyataannya, hal itu tidak selalu terjadi demikian.
Sampailah pada masukan untuk
kebijakan swasembada kedelai, sebaiknya, pertama peningkatan efisiensi
usahatani dapat dicapai melalui kebijakan yang lebih terfokus pada ukuran lahan
usahatani, penggunaan varietas benih kedelai, penggunaan pupuk, dan
produktivitas tenaga kerja. Kedua, pengunaan benih kedelai baik benih
lokal maupun benih unggul sesuai dengan anjuran ahli-ahli pertanian seperti
(25-30kg/ha). Ketiga, penggunaan pupuk organik dan pupuk KCl dibawah
dosis yang direkomendasikan. Keempat, perlunya komitmen dan komunikasi
politik antar pengambil keputusan.
EKSPOR
IMPOR KEDELAI
Indonesia mengalami kelemahan dalam hal produksi
kedelai, jumlah produksi kedelai mengalami penurunan secara drastic pada tahun
2002/2003. Bahkan selama tahun 1990-2004 Indonesia mengalami deficit terus
menerus. Walaupun begitu ada kedelai dengan komoditas tertentu yang diekspor
dengan jumlah yang sangat rendah, bahkan laju pertumbuhan ekspornya mendekati
nol.
Dari grafik diatas terlihat bahwa laju ekspor tidak
mampu untuk mengimbangi laju impor. Dari tahun ke tahun jumlah impor selalu meningkat
dan jauh lebih tinggi dibandingkan laju ekspor. Dari tahu 199-2004, jumlah
ekspor tertinggi terjadi pada tahun 1992 seebesar 3,91 ton. Dan volume ekspor
yang jumlahnya nol(tidak ekspor sama sekali) terjadi pada tahun 1998 dan 2004.
Grafik Ekspor
dan Impor Tahun 1990-2004
Dari grafik diatas
terlihat bahwa mulai tahun 1990 , nilai impor kedelai Indonesia sudah cukup
tinggi. Hal ini dikarenakan permintaan untuk konsumsi kedelai di Indonesia
cukup tinggi. Sebagai makanan olahan seperti tahu dan tempe sebagai makanan
kelas menengah ke bawah menjadi makanan sehari-hari warga Indonesia sebagai
lauk harian. Harga kedelai yang terjangkau membuat makanan ini menjadi
alternatif pilihan makanan bergizi bagi masyarakat menengah kebawah.
Dibandingkan jenis kacang-kacangan
yang lain, tempe dari bahan baku kedelai memiliki rasa yang paling gurih dan
dengan harga yang relatif murah, sehingga menyebabkan permintaan akan kedelai
inpor semakin tahun semakin tinggi. Hal ini juga dikarenakan kualitas kedelai
impor yang jauh lebih baik daripada kedelai lokal, sehingga para pedagang tempe
lebih memilih menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku untuk pembuatan
tempenya.
Dari grafik diatas
terlihat ada penurunan nilai impor kedelai pada tahun 1998 dan langsung
meningkat tajam lagi mulai tahun1999 bahkan menunjukkan angka yang jauh lebih
tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,
pada tahun ini nilai impor kedelai meningkat drastis dikarenakan dampak
dari krisis moneter yang terjadi di Indonesia, angka menunjukkan nilai yang
sangat fantastis mencapai 1302 ton impor. Dan hampir konstan sampai pada tahun
2004.
DATA IMPOR KEDELAI TAHUN 2012
Melonjaknya harga
kedelai akibat pasokan yang terbatas menjadi bukti bahwa berbagai program dan
upaya yang dirancang beberapa tahun lalu tidak efektif. Lonjakan harga kedelai
yang berakibat pada meningkatnya biaya produksi tahu dan tempe tersebut
sebenarnya sudah berulang kali terjadi. Selama lonjakan itu pula, belum pernah
ada solusi tepat dalam produksi dan tata niaga untuk mengatasi lonjakan harga
kedelai. Ketergantungan Indonesia pada kedelai impor sangat tinggi. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, produksi kedelai lokal hanya 851.286 ton
atau 29 persen dari total
Indonesia harus mengimpor kedelai 2.087.986 ton untuk memenuhi 71 persen kebutuhan kedelai dalam negeri. Pada 2012, total kebutuhan kedelai nasional 2,2 juta ton. Jumlah tersebut akan diserap untuk pangan atau perajin 83,7 persen; industri kecap, tauco, dan lainnya 14,7 persen; benih 1,2 persen; dan untuk pakan 0,4 persen. Impor kedelai terbesar Indonesia dari Amerika Serikat dengan jumlah 1.847.900 ton pada 2011.
Kemudian, impor dari Malaysia 120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton. Anomali cuaca di Amerika Serikat dan Amerika Selatan menyebabkan pasokan kedelai pun turun dan harganya melonjak. Harga kedelai internasional pada minggu ke-3 Juli 2012 mencapai 622 dolar AS per ton atau Rp 8.345 per kilogram (kg) untuk harga impor di dalam negeri. Harga ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga tertinggi pada 2011, yaitu bulan Februari sekitar 513 dolar AS per ton atau harga paritas impor di dalam negeri sekitar Rp 6.536 per kg.
Dengan harga kedelai impor yang menembus Rp 8.000 per kg menyebabkan para perajin tempe dan tahu terancam gulung tikar karena daya beli konsumen yang terbatas. Harga kedelai tersebut meningkat dari rata-rata Rp 5.500-Rp 6.500 per kg. Di tengah gejolak harga kedelai, perlu dipahami bahwa ada dua persoalan dalam pasokan kedelai, yakni produksi dan distribusi. Untuk produksi, sekalipun banyak janji ada jutaan hektare (ha) lahan terlantar, Indonesia selalu kesulitan dalam ekspansi lahan sampai pada tingkat pemanfaatan.
Selain perluasan lahan, pemerintah juga menargetkan peningkatan produksi kedelai dengan sistem tumpang sari dengan potensi lahan setara 200 ribu ha. Selain perluasan lahan, Kementerian Pertanian juga mengupayakan peningkatan produktivitas dari 1,3 ton per ha menjadi 1,54 ton per ha, pemberian bantuan benih unggul, meningkatkan penggunaan pupuk, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman.
Jika melihat kenyataannya, hampir semua rencana tersebut tidak berjalan optimal. Bahkan, ada beberapa rancangan program tidak pernah terealisasi dan hanya menjadi bahan kampanye rutin untuk menghibur para calon pemilih. Ironisnya lagi, rakyat Indonesia seakan “buta” atas manipulasi tersebut dan tidak pernah memberikan sanksi terhadap keasalahan yang dilakukan para pemimpin negara ini.
Saat ini, jika berbicara soal kedelai pada tingkat petani, maka minat budidaya sangat rendah. Petani lebih memilih padi dan jagung dibandingkan kedelai yang minim insentif dan sulit dalam pemasarannya. Sebenarnya, faktor harga jual yang rendah pun menyebabkan petani enggan untuk menanam kedelai. Untuk itu, ketika harga kedelai melonjak justru lebih banyak disuarakan oleh para konsumen dan produsen tahu serta tempe.
Sebaliknya, petani justru berharap pada harga yang layak dibandingkan dengan rata-rata Rp 5.000 per kg di tingkat petani saat ini. Berbagai faktor yang kurang menunjang peningkatan produksi tersebut adalah akibat dari dibukanya keran impor kedelai sejak satu dekade silam. Indonesia pernah swasembada kedelai pada 1992 dengan proteksi. Tetapi setelah krisis moneter 1998, Dana Moneter Internasional (IMF) mendikte Indonesia agar tidak memberikan proteksi kepada kedelai.
Dengan konsumsi kedelai dalam negeri yang mencapai 1,9 juta ton per tahun, hal itu menjadi peluang bisnis yang sangat menguntungkan. Dalam letter of intent (LoI) IMF, proteksi impor yang selama ini dipegang Badan Urusan Logistik (Bulog) harus dihapuskan sehingga impor bisa masuk. Awalnya, kemampuan impor kedelai Indonesia tidak terlalu besar karena kapasitas finansialnya terbatas, sedangkan produksi kedelai di negara-negara produsen berlimpah.
Sejak awal pintu impor dibuka, banyak fasilitas kredit ekspor yang diperoleh eksportir negara-negara produsen yang bekerja sama para importir lokal. Negara-negara tersebut memberi pinjaman tanpa bunga kepada Indonesia untuk impor kedelai, sehingga kemudian bisa dipasarkan di dalam negeri. "Seharusnya kita curiga kenapa bisa pinjam tanpa bunga.
Padahal bunga deposito saat itu mencapai 50-60% dan paling rendah 30%. Akibatnya, saat ini 70% kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi dari impor. Kalau pemerintah dan pengusaha sudah akrab, apapun bisa terjadi," kata Guru Besar Universitas Gadjah Mada Mochammad Maksum dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi IV DPR di Jakarta, pada pertengahan Februari 2012 lalu.
Sejumlah importir yang tadinya menikmati berbagai fasilitas kredit ekspor itu pun semakin lama berkembang dengan akumulasi modal yang terus bertambah. Secara bersamaan, kebijakan pemerintah tidak pernah dirancang untuk kepentingan jangka panjang sehingga menjadi kesempatan bagi para importir. Setiap ganti rezim dengan ganti menteri akan diikuti dengan program yang berganti-ganti. “Kondisinya akan semakin parah ketika program-program kementerian lebih berorientasi untuk kepentingan konstituen dan partai politik pendukungnya. Jangan heran jika Indonesia sulit mewujudkan kedaulatan pangan. Kalaupun tidak ada korupsi, program-program pembangunan pertanian diarahkan untuk kepentingan tertentu,” kata Direktur Eksekutif Institute for Sustainable Agriculture and Rural Livelihood (Elsppat) Daniel Mangoting.
Importir kedelai yang
tedaftar di Kementerian Perdagangan tercatat lebih dari 70 perusahaan. Namun,
hanya nama-nama tertentu yang menjadi penentu pasok dalam skala besar.
Informasi yang diperoleh SP menyebutkan sejumlah importir besar
tersebut, seperti PT Cargill Indonesia, PT Gerbang Cahaya Utama, PT Sekawan
Makmur Bersama, PT Teluk Intan, PT Sungai Budi dan PT Gunung Sewu.
Upaya SP mengkonfirmasi para importir tersebut belum bisa dilakukan
sehingga tidak ada penjelasan yang lebih rinci. Kedelai yang diimpor dari
Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina tercatat antara 200 ribu ton hingga 500
ribu ton untuk setiap perusahaan.
REFERENSI
Anonymous.2012. http://www.suarapembaruan.com/ekonomidanbisnis/kedelai-potret-ketakberdayaan-negara/22868.
Diakses pada tanggal 29 september 2012
Adisarwanto, T. 2005. Budidaya dengan
Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai. Penebar
Swadaya: Bogor
Anonymous, 2012 , http://www.antaranews.com/berita/323309/konsumsi-kedelai-nasional-capai-26-juta-ton-per-tahun
Gardner, F.P., Pearce, P. R. B.,
Mitchell, R. L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press: Jakarta.
Irwan, W.A. 2006. Budidaya
Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill). Universitas Padjajaran:
Jatinangor.
Prihatman, K. 2000. Kedelai
(Glycine max L). Sistem Informasi Manajemen Pembangunan di Pedesaan, Proyek
PEMD, BAPPENAS.
Setiadi, Fajar Arif. 2012. Produksi Kedelai di Bawah Satu Juta Ton. http://www.solopos.com/2012/07/24/produksi-kedelai-indonesia-di-bawah-1-juta-ton-204075. Surakarta: Solopos. Diakses tanggal 16 September 2012.
Supadi.2012.Dampak
impor kedelai berkelanjutan terhadap ketahanan pangan.Pusat Anailis Sosial
Ekonomi dan Kebijakn Pertanian.Jl.A. Yani 70 Bogor 16161.
Ruslan,
Kadir.2012.Produksi Kedelai:”Indonesia
Bangsa Tempe”. http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2012/07/28/produksi-kedelai-indonesia-%E2%80%9Cbangsa-tempe%E2%80%9D/. Jakarta:
Kompasiana. Diakses tanggal 16 September 2012.
ULASAN VIDEO DEGRADASI LINGKUNGAN
Hutan Indonesia salah satu
hutan tropis terluas sebagai paru–paru dunia, dan keragaman hayati tertinggi di
dunia. Sayangnya dalam 50 tahun 64 juta hektar hilang atau 40% dari luas hutan sebelumnya.
Sejak 1996 laju kehilangan hutan Indonesia 2 juta hektar/tahun. Pengolahan HPH
yang tidak memperhatikan keberlanjutan menyebabkan hilangnya 17,4 di tiga pulau
besar yaitu Sumatra, Kalimantan, Sulawesi sejak tahun 1970. Kebakaran hutan menjadi
salah satu faktor hilangnya hutan alam seluas 9,7 juta hektar. Pembangunan
sector perkebunan selama 30 tahun terakhir menciptakan 2,3 juta hektar kelapa
sawit, 9 juta, 9 juta hektar hutan rusak oleh tanaman
industry dan perkebunan, 4 juta hektar hutan hilang oleh pemukiman dan pertanian.
Hal ini diakibatkan adanya kepentingan politik dan pemasaran global. Lemahnya
hukum semakin menyebabkan ketidakpastian dalam pengelolaan dan pemamfaatan hutan.
Ditambah lagi dengan kasus otonomi daerah yang melahirkan konflik pengelolaan lahan.
Referensi:
Inlinepostproduction.2012.Hutanku Hilang dalam 1 Menit. http://www.youtube.com/watch?v=5v4-wUpUiro.
Diakses tanggal 18 September 2012.
Ecological Footprint
Menurut data di atas dapat kita lihat bahwa Negara yang
berpenduduk tinggi dan memiliki GDP lebih rendah dari pada USA memiliki
ecological footprint lebih rendah dari pada Negara maju yang memiliki penduduk
lebih lebih sedikit dengan GDB lebih besar, contohnya China dengan USA. China
memiliki penduduk yang lebih tinggi dengan GDB yang lebih rendah dibandingkan
dengan USA yang memiliki jumlah penduduk lebih rendah dan memiliki GDB yang
tinggi. Kita bisa menarik kesimpulan bahwa jumlah penduduk yang tinggi tidak
bisa menjamin ecological footprint tinggi.
Kita dapat megganalisis footprint dari ketersedian air,
pangan, pepohonan, jalan untuk transportasi dan area pertanian,dll. Guna
memenuhi kebutuhan manusia, pengaruh kebiasaan pengonsumsian jumlah makanan
juga dapat mempengaruhi footprint seperti contoh negara miskin Ethiopia di
afrika yang memiliki GDP rendah data footprin’nya juga rendah.
Kesuburan dan luas lahan produksi pertanian dan hutan
juga akan mempengaruhi footprint seperti cina yang memiliki kawasan yang luas
dengan lahan pertanian yang luas dan memilik’i teknologi yang tinggi dapat
memenuhi kebutuhan pangan penduduk cina bahkan mengespor ke luar negri.
Sedangkan USA Negara yang sangat maju memiliki luas wilayah yang tidak seluas
Cina bahkan hamper seluruh wilayah USA d penuhi dengan gedung-gedung dan
bangunan-bangunan sehingga memiliki lahan pertanian yang tidak seluas Cina
Menurut
hasil analisis kelompok kami menyimpulkan berbagai Negara di atas tentang
konsep tapak ekologi adalah sebagai berikut:
1.
USA,
Australia, United Kingdom, Japan, Argentina, Brazil
Dengan
perhitungan tapak ekologi dalam table dihasilkan sebesar 12,2 ha untuk jatah
manusia USA perorangnya. Sedangkan dari rata-rata kebutuhan manusia di dunia
terhadap daya dukung liingkungan yang tersedia adalah sebesar 2 ha per kapita.
Hal ini menujukkan ketidak merataan dan pemborosan lingkungan oleh masyarakat
USA yang sangat besar dengan 610% lebih besar dari rata-rata tapak ekologi
dunia.
Begitu
pula yang terjadi dengan Negara besar seperti Australia sampai Brazil juga
melakukan pemborosan dan berlebih dibannding kebutuhan rata-rata Dunia. Hal ini
memicu terciptanya kesenjangan pemenuhan kebutuhan hidup bukan hanya di tiap
Negara, tapi dalam tataran Dunia. Akibatnya adalah berbagai Negara di belahan
bumi lain mengalami kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya
2.
China,
Egypt, India, Ethopia, Bangladesh
Negara
tersebut diatas merupakan korban dari ketidakseimbangan yang ditimbulkan oleh
Negara-negara besar dunia yang lain yang mengakibatkan tiap masyarakatnya
memperoleh daya dukung lahan yang kurang dibandingkan dengan kebutuhan
rata-rata dunia yakni yang sebesar 2 ha per kapita, apalagi bila dibandingkan
dengan daya dukung lahan yang diperoleh Negara besar lain seperti USA, Australia, United Kingdom, Japan,
Argentina, Brazil.
Belum
lagi efeknya yang akan ditimbulkan dalam internal Negara tersebut, yakni
pembangunan yang tidak merata dan akan timbulnya kesenjangan yang sangat jauh
antar masyarakat dalam Negara terlebih antar Negara.
TUGAS TERSTRUKTUR
PERTANIAN BERLANJUT (ASPEK SOSIAL-EKONOMI)
KOMODITI KEDELAI
KELOMPOK
3:
Usda
Kristina Tassariya
105040101111010
Mey
Nilasari
105040113111016
Afis
Abdullah 105040101111052
Agus
Sujiwo 105040101111083
Wisnu
Berniadi 105040101111084
Jemny
Surya F 105040100111035
Aldo
Aprilianto 105040101111008
M.
Fajri Akbar 105040100111005
PROGRAM STUDI
AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
kok gambarnya gak ada yg muncul yaaa
BalasHapusDISTRIBUTOR KEDELAI IMPORT Khusus Kedelai USA
BalasHapusKepada Yth. Bp/Ibu.
Dengan Hormat,
Bersama ini Kami dari CV. GIHON SUKSES MAKMUR yang bergerak dibidang Distributor Trading Palawija Kedelai Import Khusus Kedelai USA bermaksud menawarkan Produk-Produk Kami.
Diantaranya adalah :
1. Kedelai Cap “BINTANG MERAH”.
2. Kedelai Cap “BOLA EMAS”.
3. Kedelai Cap “BOLA HIJAU”.
4. Kedelai Cap “DAHLIA”.
5. Kedelai Cap “GS”.
6. Kedelai Cap “IGF”.
7. Ragi Tempe Cap “RAPRIMA”.
8. Ciok O atau Batu Tahu.
Kami selalu menjaga Kualitas Produk kami, ketersediaan Stock dan Harga Kompetitif yang selalu Ter-Update.
Demikian Info penawaran dari kami, Atas segala perhatiaanya, Kami Ucapkan TERIMAKASIH.
Info lebih lanjut, silakan Kunjungi website kami di www.gihonsuksesmakmur.com
Atau,
Kantor Kami:
Jl. Brigjend. Sudiarto 446-A
Semarang – Jawa Tengah – Indonesia.
Telpon: 62 (024) 6719445
Atau Hotline:
Bp. Budi Hartono Sutjipto
HP: 082.13567.5729.
Email:
- Sukses_999@yahoo.com
- cvgihonsuksesmakmur@gmail.com
- cvgihonsuksesmakmur@yahoo.om
- cvgihonsuksesmakmur@hotmail.com
Hormat Kami,
CV.GIHON SUKSES MAKMUR.